Sunday, April 4, 2010
inilah sebuah catatan yang saya kutip dari analysis dayly semoga bermanfaat

Berkenankah Presiden Mereformasi Kembali Polri?


sumber : http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=77&Itemid=138

Oleh : Hidayat Banjar

Kesan kisruh di Mabes Polri akibat Susno Duaji yang melemparkan tudingan makelar kasus, tak dapat dihindari. Sementara Gayus Halomoan P Tambunan (30) yang disebut mantan Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Susno Duaji terlibat dalam kasus pajak sebesar Rp 25 miliar, oleh Pengadilan Negeri Tangerang telah divonis bebas.

Vonis Gayus yang pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ini dibacakan Jumat (12/3). Hukuman untuk Gayus lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Nasran Aziz, yakni satu tahun percobaan. Saya tak ingin membahas vonis tersebut, melainkan ingin mendorong agar Presiden Republik Indonesia mengambil momentum ini untuk mereformasi kembali institusi Polri.

Polri memang sudah mereformasi diri sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999. Polri telah tampil jadi institusi yang mandiri dan kuat karena langsung di bawah Presiden. Reformasi Polri merupakan tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat. Tujuan reformasi itu, perubahan tata kehidupan nasional ke arah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera.

Sebenarnya, kemandirian Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi ini tertutup, berjalan dan bekerja sendiri serta super body. Polri diharapkan tetap dalam kerangka ketatanegaraan dan pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia yang utuh.

Pengembangan kemampuan dan kekuatan serta penggunaan kekuatan dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari tindakan kriminalitas dan bencana alam.

10 tahun lebih dan jelang 11 tahun perjalanan reformasi (1 April 2010 mendatang) Polri, institusi ini seakan berubah wujud menjadi lembaga super body. Maka mengemukalah wacana agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengevaluasi kepemimpinan dan sistem dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali.

Presiden Republik Indonesia dapat melakukan itu karena UUD 1945 Pasal 5 (1) menyatakan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 5 (2): Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Berdasarkan Pasal 5 UUD 1945 itu, wacana mereformasi Polri kembali yang belakangan ini makin menguat, diharapkan tidak kehilangan momentumnya. Presiden RI diharapkan berkenan membenahi sistem dan perangkat hukum yang ada di tubuh Polri.

Dengan sistem dan perangkat hukum yang dapat mengawasi polisi-polisi jahat, harapan kita hari ini ke depan makelar kasus dan peristiwa salah tangkap atau merekayasa tindak kriminal dapat diminimalisir.

Salah Tangkap

Ini sebahagian kasus salah tangkap oleh polisi: 1970, Sumarijem alias Sum Kuning menjadi korban perkosaan. Saat melapor ke polisi malah disudutkan dan ditahan. Akhirnya, Sum Kuning divonis bebas (PN Yogyakarta 17/12/1970). Pada 1974, Sengkon dan Kerta dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan dan mendapat vonis 12 dan 7 tahun penjara. Keduanya bebas setelah pelaku asli mengaku (Putusan MA 13/1/1980).

Di tahun 2008, Imam Hambali dan David Eko dituduh membunuh Asrori lalu mendapat vonis 17 dan 12 tahun penjara. David bebas setelah pelaku asli mengaku (Putusan MA 3/12/2008). 9 November 2009 Hartina Wood, dituduh memiliki sebutir ekstasi dan 0,8 gram sabu. Hartina ditahan di Polda Metro Jaya. Pihaknya mengajukan gugatan praperadilan (1/2/2010).

Pada 21 November 2009, Herman Susilo, dengan tuduhan memiliki dua linting ganja, ditahan di Rutan Salemba. Keluarga korban masih pikir-pikir mengadukan ke Propam Metro Jaya. (3/3/2010). Kemudian 25 November 2009, Anton Mamarodia, dituduh memiliki 10 butir pil ekstasi. Anton ditahan sejak 3 September 2009. Kasusnya masih disidangkan di PN Jakarta Pusat (22/2/2010).

Berikutnya, 5 Desember 2009, JJ Rizal dituduh mencopet. Ternyata tak terbukti akhirnya, tiga anggota Polsek Beji, Depok divonis tiga bulan (PN Depok l4/3/2010). Pada14 Desember 2009 Aan Susandhi dengan tuduhan memiliki satu butir pil ekstasi berbentuk bubuk di tahan di Polda Metro Jaya. Kasusnya masih disidangkan di PN Jakarta Selatan (4/3/2010).

Padahal Pasal 184 (1) menyatakan: Alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan Saksi, b. Keterangan Ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan Terdakwa. Seyogianya, jika alat bukti tidak cukup, polisi janganlah memaksakan kasus itu dikirim ke Kejaksaan. Andai juga dikirim, pihak Kejaksaan wajiblah memulangkan berkas untuk dilengkapi.

Pengganti PM

Bertitik tolak dari hal itulah, masyarakat berharap ada sebuah institusi pengganti PM (Polisi Militer), sehingga oknum-oknum polisi jahat, yang merekayasa kasus dapat ditindak tegas. Kita menyarankan, agar dibentuk lembaga semacam PM yang pendidikannya berbeda dengan polisi biasa.

Polisinya polisi ini tidak berurusan dengan rakyat, melainkan mengurusi polisi-polisi yang jahat. Kalau ada rakyat mengadu telah mendapat perlakuan semena-mena dari oknum polisi, polisinya polisi segera mengambil tindakan, menskor polisi bersangkutan untuk menjalani pemeriksaan. Kalau ada pernyataan seperti yang dilontarkan Susno, polisinya polisi pun tidak tinggal diam.

Jika ternyata apa-apa yang diadukan masyarakat – maupun petugas polisi – tidak benar, maka nama baik si polisi haruslah direhabilitasi dengan biaya negara. Tetapi jika ternyata apa yang dituduhkan benar, sang polisi haruslah mendapat hukuman yang setimpal, bila perlu dipecat sekalian. Karena harusnya melindungi rakyat, kenapa berbuat sebaliknya.

Sejak reformasi bergulir, trajektori Polri mengarah kepada kemandirian. Persoalannya, terkadang dirasakan masyarakat di balik kemandirian itu kini Polri mewujud sebagai lembaga super body. Pengawasan oknum-oknum polisi yang nakal – kalau dulu – oleh Polisi Militer (PM) sekarang hanya kepada Propam. "Tidakkah Propam itu polisi juga yang pendidikannya notabene sama?" tanya masyarakat. "Lho, kok polisi mengawasi polisi, apa mungkin?" lanjut mereka.

Pertanyaan itu mengemuka terkait masalah penindakan oknum-oknum polisi yang menyalahi aturan dan ketentuan hukum. Apakah Propam tidak sungkan menindak oknum polisi menyalah, yang adalah rekannya pada masa pendidikan atau malah seniornya?

Membesarnya wewenang kepolisian menjadi peluang yang dapat memperburuk citra Polri sebagai institusi. Dengan besarnya wewenang, Polri memperoleh peluang lebih terbuka untuk melakukan penyelewenangan lebih besar dari sebelumnya ketika masih di dalam ABRI atau TNI. Citra buruk ini harus segera diatasi, kalau tidak polisi yang seharusnya tempat masyarakat mengadukan masalahnya, malah membuat masalah.

Perubahan

Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahan-perubahan melalui tiga aspek yaitu:

1. Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam Ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.

2. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.

3. Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional.

Berkenaan dengan uraian tugas tersebut, maka Polri diharapkan terus melakukan perubahan dan penataan baik di bidang pembinaan maupun operasional serta pembangunan kekuatan sejalan dengan upaya Reformasi.

Masyarakat berharap adanya lembaga pengawasan polisi yang juga bersenjata. Sekarang, memang ada lembaga independen yang bernama Komisi Kepolisian, tetapi terdiri dari orang-orang yang tak bersenjata. Sementara Propam adalah polisi juga yang pendidikannya sama dengan polisi biasa.

Persoalan lain adalah masalah pendidikan dan kesejahteraan. Jumlah anggota Polri saat ini tercatat 363.000 orang dan jumlah PNS 233. 000 orang. Namun 96 persen dari jumlah itu berpangkat bintara dan sebagian besar rumah mereka masih sangat sederhana. Baru 30 persen anggota Polri yang memiliki rumah sendiri. Ini pun persoalan lain yang harus dipecahkan.

Kita butuh gerakan massal untuk memberantas korupsi yang sudah menggerogoti bangsa ini. Kepolisian Hongkong saja membutuhkan waktu 20 tahun untuk memberantas praktik korupsi dan kolusi di tubuh institusi itu dengan kehadiran Independent Comission Againts Coruption (ICAC). Lebih dari 1000 polisi yang terlibat korupsi ditindak. Bagaimana dengan Polri, akankan Presiden RI berkenan mereformasinya kembali? Semoga.***

Penulis adalah Peminat Masalah Sosial Budaya dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Medan Area Medan.

Artikel Lainnya

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih atas kunjungannya

Mobile

Kategori

INFO THIS SITE

RSSMicro FeedRank Results My Ping in TotalPing.com

Page Rank Check

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Counter


live stats GoStats.com — Free hit counters Ping your blog, website, or RSS feed for Free